Ibu Pertiwi, dan Jati Diri Bangsa

19.14 0 Comments

Kalau ngomong tentang Ibu Pertiwi, ada sebuah ilustrasi. Bangsa kita itu pernah melahirkan peradaban besar: Mataram Kuno, Sanjaya. Pernah melahirkan Sriwijaya, pernah melahirkan Singasari, pernah melahirkan Majapahit. Dan terakhir anak bontotnya bernama NKRI. NKRI ini bukan satu-satunya anak yang pernah dilahirkan bangsa kita. Inilah diri sejati kebangsaan, yang pernah diperankan oleh leluhur kita, yang secara fisik mati karena ada ukuran atau batasan umur. Tetapi diri sejati kebangsaan ini tidak pernah mati.

Orang Indonesia adalah orang yang hidupnya berada dalam kesadaran bertuhan. Maka disebut ketuhanan yang maha esa. Orang yang berada dalam kesadaran bertuhan, maka output sosialnya adalah kemanusiaan yang adil dan beradab, sebuah sikap universal yang tidak dibatasi oleh semangat primordial. Yaitu berbuat sesuatu bukan karena seagama, sesuku, sedarah, tapi karena kemanusian. Orang dengan semangat universalisme berkemanusian akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mempersatukan, yang mempersaudarakan, maka persatuan Indonesia. Dengan semangat mempersatukan, maka ketika ia mengambil keputusan maka ia akan bermusyawarah yang dipimpin oleh hikmah. Bukan voting. Apa itu hikmah? Hikmah adalah Saripati kebenaran. Orang yang sudah keracunan materialisme tidak akan pernah membaca, tidak bisa mendengar hikmah.

Misalnya saja ketika kita sedang naik motor, tiba-tiba ada telepon masuk yang tidak bisa kita terima dengan kita tetap berkendara, maka kitapun berhenti. Setelah selesai telepin, kemudian ada orang datang minta tolong ke kita. Oh ternyata Tuhan menciptakan mekanisme saya ditelepon orang, ternyata agar kita menolong orang yang ada disitu. Pada saat Tuhan sedang menciptakan mekanisme kita ditelepon orang, dalam pertistiwa kita ditelepon orang, ada bahasa Tuhan yang bilang: Gus tulungi kae wong (red: Gus, tolong orang itu), tapi bahasa Tuhan melalui bahasa kejadian. Dan paham materialisme tidak akan sampai pada ceruk terdalam dari kejadian, yaitu hikmah. Hikmah itu suara Tuhan. Di dalam setiap peristiwa, suara Tuhan itu kita rumuskan menjadi kata-kata manusia, kata-kata budaya. Sehingga kita tidak berhenti pada kesadaran bahwa kita sedang ditelepon saja, Selesai. Tapi di dalamnya ada perintah Tuhan kita harus menolong orang yang ada disitu.

Orang yang berkumpul untuk bermusyawarah dengan dipimpin hikmah, artinya orang-orang yang mengambil keputusan dalam negara-entah Perda, Perpres, Undang-Undang atau apalah – adalah orang-orang yang bisa mendengarkan hikmah. Sehingga keputusan dari hasil musyawarah yang dipimpin oleh hikmah adalah keputusan obyektif, proporsional maka dia akan disebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nah orang yang berjiwa Pancasila inilah yang disebut diri sejati bangsa Indonesia.

Lalu rumusan siapa Pancasila ini? Rumusan pendiri bangsa, mereka sangat tahu bagaimana membuka pintu bagi anak bangsa untuk memasuki kesadaran diri sejati bangsa. Jadi siapa yang berkesadaran itu? Adalah kesadaran Pancasila, dia akan menjadi diri sejati kebangsaan. Dia akan menjadi tumpuan rumah dari bangsa nusantara. Selama ini paham materialisme meracuni kita bahwa yang tuan rumah itu yang paling pantas ngomong negara, camat, bupati, gubernur, presiden, padahal mereka belum tentu tahu pemahaman kesadaran pancasila seperti ini. Jadi meskipun bakul gorengan, kalau dia berkesadaran pancasila, dia menjadi tuan rumah bangsa Indonesia.

Tuan rumah inilah yang nanti pelan-pelan akan terus berjalan menuju entah apa kelahiran nanti setelah NKRI. Karena dulu Majapahit pernah dilahirkan, sekarang NKRI pernah dilahirkan nanti akan ada penyempurnaan dari NKRI ini yang sekarang sedang carut marut. Cepat atau lambat. Tetapi bagaimana caranya? Kita tidak tahu. Kita hanya menjalanai kewajaran hidup dan kesejatian hidup saja. Kapan momentumnya tidak tahu. Rasulullah SAW itu dapat ayat itu 6666 ayat. Rasulullah tidak ngeyel ketika baru dapat 100 kemudian menanyakan: kapan selesainya? Tidak mungkin Rasulullah seperti itu. Beliau hanya menjalani-menjalani saja, dari ayat ke ayat itulah perjalanan sejatinya, sampai Allah SWT memberi momentum sempurna Islam sebagai agamamu.

Jadi, yang kita lakukan adalah bertahan berada dalam kesadaran diri sejati maka kita akan seperti perjalanan Rasulullah meniti jengkal waktu dari detik ke detik mendapat informasi dari Allah sampai nanti Allah menciptakan momentum bagi kita, siapa saja yang berkesadaran bangsa Indonesia menjadi pelaku dari kelahiran nusantara yang lebih besar, lebih sempurna dan lebih beradab dari sekarang yang kita alami. Itulah diri sejati kebangsaan. Pintunya dibuka melalui Pancasila, redaksi yang luar biasa.

Kesadaran diri kebangsaan sejati ini tidak bisa melalui pendekatan materi. Kesadaran seperti ini tidak bisa didapatkan dengan kita memenuhi syarat-syarat formal administratif. KTP, itukan syarat formal kewarganegaraan, status hukum sebagai orang Indonesia dalam konteks warga negara. Tetapi sebagai diri sejati kebangsaan, meskipun punya KTP tidak punya KTP, diakui tidak diakui, itu tidak ada urusan. Yang penting dia berkesadaran bangsa Indonesia. Yang bisa diperjualbelikan adalah kewarganegaraan, makanya ada ornag Korea bisa lebih leluasa daripada orang kita. Itu yang diperjualbelikan. Tetapi diri senjati kebangsaan tidak bisa deperjualbelikan kepada siapapun.

Dalam sejarah, Sultan Hadiwijaya yang mempunyai anak kandung bernama Pangeran Benowo, dan punya anak tiri namanya Sutawijaya. Kanjeng Sunan Kalijaga lalu memandati Ki Juru Mertani untuk membangun suatu struktur politik yang namanya Mataram Islam. Yang nanti takhtanya diserahkan kepada Raden Sutawijaya, setelah jadi raja bergelar Panembahan Senopati yang menjadi Hamengkubuwono sampai sepuluh saat ini. Itu sayap satu anak, tapi sayap yang tidak terbaca oleh sejarah adalah langkah kultural dan gelombang tadi yang sepenuhnya adalah langkah dan strategi-strategi yang dilakukan oleh Pangeran Benowo. Dia merintis pesantren yang di generasi ketujuh Mbah Hasyim Asyari, ini dapat momentum menjadi pelaku kelahiran NKRI. Sunan Kalijaga seolah-olah sudah sangat tahu bahwa akan datang Belanda, Dajjal dalam bentuk penjajahan, yang akan mengacak-acak nusantara. Maka dibuat suatu struktur politik yang nanti fokus Belanda, ternyata habis energi dan biayanya fokusnya mengacak-acak kraton, karena dia nampak, dia berbentuk normal, sampai lahir perjanjian Giyanti, memisah Jogja dan Solo. Itu dihabisi semua. Tapi Belanda lupa dan sepenuhnya tidak membaca, ada gelombang kultural, ada gelombang kesejatian yang justru melahirkan ledakkan dahsyat pada momentum Mbah Hasyim ini sehingga lahirlah NKRI. Tapi apa gunanya juga Jogja dibikin, karena ada keraton Jogja.

Ketika kita mendeklarasikan diri menjadi bangsa yang merdeka, dunia menuntu: negara apa yang merdeka, kamu tidak punya negara kok? Kemudian bersepakata yang merdeka adalah negara Jogja, ibukota pertama di Jogja. Jogja melegitimasi kelahiran bayi perkasa bernama NKRI, yang hari ini sedang kurang darah karena ada peristiwa-peristiwa politik. Tapi tidak tahu, bahwa Dajjal kapitalisme telah menghancurkan NKRI melalui peristiwa-peristiwa politik, melalui peristiwa-peristiwa dagang. Tidak tahu bahwa ada orang-orang sejati yang sedang menempuh perjalanan sejati dan kita semua InshaAllah akan menjadi ledakkan dari lahirnya NKRI yang lebih besar dari hari ini, ada penyempurnaan-penyempuranaan yang hari ini tidak diduga oleh siapapun. Karena Barat sekarang melalui misi globalisasi, kapitalisasi, akan habis energinya menghabisi struktur formal dan bentuk formal negara kita. Tapi mereka tidak tahu bahwa kekayaan utama kita adalah kekayaan rohani, perjalanan-perjalanan kultural yang hari ini sedang kita lakukan. Mereka tertipu, ada gelombang besar yang nanti akan datang.

Kita selayaknya hidup dengan keyakinan ini. Ada orang yang berkeyakinan mencari uang, ya terserah. Keyakinan kita bahwa ada tugas besar kenapa kita diturunkan ke bumi. Apa iya hidup hanya cari bahan makan dan tidur saja? Ada yang lebih sejati, yaitu perjalanan menempuh dan berdialog dengan Tuhan sampai Tuhan menunjukkan dan membuat momentum tadi. Pangeran Benowo tidak tahu kapan mau jadi “bayi sempurna”, baru jadi sampai generasi ketujuh, yaitu Mbah Hasyim. Berapa ratus tahun? Pangeran Benowo juga tidak terburu-buru membuat bentuk apa nantinya, Pangeran Diponegoro juga tidak terburu-buru memerdekakan diri, tidak. Mereka sangat paham, sangat adab. Beliau menunggu petunjuk Tuhan terus maka bergerak, bergerak sampai Tuhan menciptakan momentum, ndilallah, Hiroshima mendadak dibom. Tiba-tiba kita punya kesempatan untuk meproklamirkan diri. Lah apa nanti peristiwa kita menemukan kesejatian kebangsaan kita, kita tidak tahu. Kita jalani saja.

Dalam konsep bhineka tunggal kita, mindset kita hanya terjebak pada bhineka tunggal ika saja padahal masih ada tan hana dharma mangrwa. Dimana tidak ada pengabdian mendua. Pengabdian kepada siapa lagi kalau bukan kepada Tuhan? Ini adalah bentuk syahadat bangsa kita sejak dari dulu.

Kita sebenarnya jauh sudah beragama sebelum ada paham-paham impor dari luar. Kita sudah bergama berbangsa. Memang dalam urusan state (bernegara) kita belum sempurna, tetapi dalam konteks nation (berbangsa) kita sudah selesai. Buktinya dari lima sila, dan bhineka tunggal ika, ini negara dibangun berdasar dari sebuah analisa dan kondisi obyektif geografis orang-orang atau pribumi-pribumi setempat yang mendiami termasuk mereka-mereka yang non-pribumi.

Kenapa hari ini mindset kita terarahkan ke globalisasi? Karena kita mengamini bahwa Amerika itu adidaya, kita mengamini bahwa parameter kemajuan adalah kemampuan negara lain untuk mengeruk kekayaan negara tetangganya. Kenapa bukan santunnya seseorang kepada orang lain? Yakinnya seseorang kepada Tuhan? Kenapa bukan memaknai sebuah kejadian itu parameter peradaban?

Kehidupan dalam bernegara ini sama seperti kehidupan seseorang. Dalam menapaki kehidupan yang baru kita selalu melakukan upacara terhadap pencapaian-pencapaian baru. Bangsa Indonesia itu pernah dimodali Tuhan, dengan diberi konsep bernama Hindhu, dengan konsep ini, bangsa Indonesia mampu melahirkan Mataram Kuno pada abad ke-8. Ketika dimodali Budha, maka lahirlah Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit. Dan sekarang nambahi modal, Islam. Seandainya Islam, dipahami secara benar, secara komprehnsif maka ini modal luarbiasa yang dulu bangsa kita pernah dimodali Hindhu dan berakhir dimodali Islam. Itu ibaratnya dulu kita dimodali pisau bisa membuat kandang ayam, sekarang kita dimodali golok, malah yang terjadi tidak bisa membangun apa-apa, malah meruntuhkan bangunan lama. Dengan cara berpikir seperti ini, maka kita tidak akan menyebut yang lain salah. Persoalannya sekarang bagaimana kita mendayagunakan fasilitas dari Tuhan berupa konsep Islam ini, yang hari ini direduksi sedemikian rupa sehingga hanya kotak-kotak, alat perbenturan satu sama lain.

Orang yang sudah memiliki kesadaran kebangsaan sejati sudah tidak tersekat oleh suku dan warna kulit. Siapapun bisa memiliki kesadaran ini. Orang dengan kesadaran ini sudah bahkan tidak lagi terkotaki oleh negara. Sudah tidak ada lagi Malaysia, Amerika, Arab. Maka ada konsepsi hamengku buwana, hamengkubumi. Ini sifatnya alam. Kesadaran ini tidak boleh dirusak. Maka Rasulullah bukan hanya memiliki tugas lokal regional tapi juga rahmatan lil ‘alamin. Global universal.

Denny

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: